Adalah sebuah sunnatullah, adanya orang-orang yang memusuhi dan mencela dakwah para nabi. Mereka/para nabi dikucilkan, diserang, diperangi, bahkan dibunuh, dan dilecehkan. Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan dalam sebagian ungkapan ‘tidak akan membahayakan awan di langit gonggongan anjing di bumi’.
Pepatah mengatakan, ‘biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu’. Kita telah melihat bersama lembaran sejarah orang-orang semacam itu seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Abdullah bin Ubay bin Salul, bahkan Fir’aun. Kemudian di masa kini muncullah orang-orang yang sudah tidak punya rasa malu dengan berbagai aksi penodaan dan pelecehan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.
Tentu, tidak ada jiwa seorang muslim yang ridha apabila nabi kita dihina dan dilecehkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sangat-sangat menyedihkan, apabila ada seorang yang mengaku muslim justru berkasih sayang dan memberikan loyalitas kepada orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidak akan kamu dapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan rasul lantas mereka berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya…” (Al-Mujadilah : 22)
Oleh sebab itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam risalahnya Tsalatsatul Ushul, “Sesungguhnya barangsiapa yang menaati rasul dan mentauhidkan Allah maka tidak boleh baginya untuk memberikan loyalitas kepada orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, walaupun dia itu adalah sanak kerabat terdekat baginya.”
Demikianlah Allah dan Rasul-Nya mengajarkan; yaitu berlepas diri dan membenci kaum musyrikin dan pemuja berhala serta musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik, demikian pula Rasul-Nya [juga berlepas diri dari mereka].” (At-Taubah : 3)
Oleh sebab itu sikap berlepas diri dari syirik dan pelakunya adalah bagian mendasar dalam jati diri setiap muslim. Para ulama kita menjelaskan bahwa hakikat islam itu adalah ‘berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya’.
Yang dimaksud dengan loyal kepada mereka/orang kafir itu adalah dengan ‘mencintai mereka, membela mereka, mengagung-agungkan mereka serta menyanjung-nyanjung mereka secara berlebihan dan bangga dengan ajaran/keadaan mereka sehingga membuatnya justru menolak ajaran agamanya sendiri’. Inilah bentuk loyalitas yang dilarang di dalam Islam (lihat keterangan Syaikh Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi hafizhahullah dalam Transkrip Syarah Tsalatsatul Ushul, hal. 18)
Adapun mengambil ilmu keduniaan dan kemajuan teknologi dari mereka, bermuamalah dengan mereka, bertetangga dengan baik dengan mereka maka ini semua bukanlah termasuk bentuk loyalitas dan perbuatan yang dilarang oleh agama. Bahkan, Islam melarang keras tindak kekerasan kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh seorang kafir mu’ahad/yang terikat perjanjian damai dengan umat Islam maka dia tidak akan mencium baunya surga.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan berbuat baik kepada tetangga, walaupun berbeda agama. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Disebutkan pula dalam riwayat bagaimana keluarga beliau sangat menghormati dan memuliakan tetangganya yang kafir, bahkan dari kalangan Yahudi sekalipun.
Adapun hinaan dan celaan kepada para nabi, para Sahabat, dan ulama adalah hal yang telah ada sejak dulu kala. Kita jelas tidak meridhainya. Kita menolaknya dan menentang keras siapa pun pelakunya, apakah dia mengaku muslim ataupun orang kafir asli. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih berharga bagi kita daripada diri-diri kita sendiri. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih utama untuk kita bela daripada harga diri, kehormatan, dan bahkan nyawa kita sekalipun.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh seorang sahabat yang mulia Khubaib bin ‘Adi radhiyallahu’anhu. Ketika pedang kaum kafir telah didekatkan di atas lehernya, kemudian mereka bertanya kepada dirinya, “Wahai Khubaib, apakah kamu ridha apabila Muhammad sekarang ini menggantikan posisimu?” Sahabat yang mulia ini menjawab dengan ucapan yang menunjukkan dalamnya kecintaan beliau kepada Rasul, katanya, “Demi Allah, aku tidak ridha, walaupun hanya sekedar tusukan duri yang akan mengenai jasad beliau, maka aku tidak ridha beliau yang mengalaminya.”
Allahu akbar! Inilah kecintaan sejati… Maka di masa ini pun kita bisa berkata kepada musuh-musuh Islam; silahkan anda hinakan dan lecehkan kami dengan segala kekurangan dan aib yang memang ada pada kami serta genangan dosa yang meliputi diri kami, namun janganlah kalian menyentuh harga diri dan kehormatan nabi kami yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam…!!
Meskipun demikian, Islam mengajarkan kepada kami untuk mengajak manusia dengan penuh hikmah dan kelembutan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada suatu perkara kecuali pasti memperindahnya. Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu kecuali pasti akan membuatnya semakin bertambah buruk.” (HR. Muslim)
Islam juga mengajarkan kepada kami untuk menegakkan keadilan. Islam tidak memperkenankan umatnya untuk membuat kekacauan, menebar teror, merusak keamanan, merampas harta manusia, merusak fasilitas umum, membuat kemacetan dengan kerumunan massa, atau melecehkan hak-hak manusia. Islam tidak mengajarkan yang demikian. Islam adalah rahmat bagi alam semesta.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan label-label yang buruk dan stigma negatif dari kaum kafir kala itu. Meskipun demikian, beliau -sang pemilik akhlak yang luhur- tidak pernah menebarkan teror kepada masyarakat, tidak membunuh jiwa secara serampangan, tidak menggalang massa untuk berunjuk rasa di jalan-jalan. Padahal, beliau adalah seorang Nabi yang malaikat pun akan turun untuk membantunya…
Dan pada masa kita sekarang ini, para ulama Ahlus Sunnah seperti Syaikh Al-Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan para ulama yang lain melarang keras tindakan anarkis dan berbagai bentuk demonstrasi dan unjuk rasa, walaupun dengan tujuan membela agama. Bahkan, suatu ketika ada sebagian pihak yang memfatwakan bolehnya unjuk rasa damai, maka fatwa ini pun telah dibantah oleh para ulama besar kita di masa sekarang ini. Demonstrasi dan unjuk rasa bukan bagian dari ajaran Islam, dan bukan jalan yang benar untuk meraih kejayaan!
Kita telah melihat bersama tragedi yang menimpa saudara-saudara kita di Suriah, Mesir, Palestina, dan negeri-negeri Islam yang lainnya. Bukankah demonstrasi besar-besaran dan unjuk rasa menentang penguasa adalah salah satu sebab utama semakin memburuknya keadaan mereka. Sehingga terjadilah pertumpahan darah dan kekerasan dimana-mana.
Lihatlah Imam Ahmad bin Hanbal di masanya. Beliau tidak mengajak rakyat untuk mendemo penguasa kala itu, padahal karena keteguhannya dalam mempertahankan akidah Islam beliau harus dijebloskan ke dalam penjara hingga tiga masa kekhalifahan! Dan beliau sama sekali tidak memprovokasi umat untuk turun ke jalan-jalan.
Oleh sebab itu, pantaslah jika dikatakan oleh seorang mujahid besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, bahwa ‘bersabar dalam menghadapi kezaliman penguasa adalah salah satu pokok diantara pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah’.
Inilah keindahan Islam yang belakangan ini kian hari semakin luntur akibat ulah sebagian dari umat Islam itu sendiri. Mereka yang telah teracuni oleh sampah pemikiran demokrasi. Mereka yang terkontaminasi oleh kotoran-kotoran paham sekuler dan liberal secara tidak sadar. Mereka yang menjadikan ghibah dan mengumbar aib sebagai konsumsi sehari-hari, terlebih lagi jika itu berkaitan dengan aib pemerintah di negeri-negeri kaum muslimin. Sehingga hidup kaum muslimin pun terpuruk dalam jurang-jurang kehinaan.
Sungguh benar nasihat Imam Malik rahimahullah, “Tidak akan baik keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.” Generasi awal Islam telah menggapai kemuliaan dengan Islam, dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, “Kami adalah suatu kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka kapan saja kami mencari kemuliaan dengan selain Islam niscaya Allah akan menghinakan kami.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)